Pengertian Estetika
Asal kata estetika adalah “aisthetika” yang berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera (sense of perception). Alexander Baumgarten, meneruskan pendapat Leibniz dengan menggunakan kata
“aisthetika” untuk kali pertama pada abad ke-18 sebagai penekanan bahwa “aisthetika” adalah sarana
untuk mengetahui pengalaman seni (the perfection of sentient knowledge).
“Estetika adalah sains tentang pengenalan inderawi (the science of sensory cognition).” — Alexander Baumgarten.
“Estetika adalah pengetahuan tentang yang indah (science of the beautiful). Estetika hanya berurusan dengan keindahan seni.” —Louis Kattsoff.
“Estetika tidak hanya menyelidiki yang indah, tetapi juga yang buruk.” —Stolnitz
“Estetika adalah telaah tentang aktivitas penciptaan dan kesenimanan; tentang apresiasi, kritik seni, hubungan seni dengan kehidupan, dan peran seni di dalam dunia.”
Hari ini estetika tidak melulu harus berurusan dengan permasalahan filosofis; di dalamnya ada bahasan ilmiah yang menyangkut banyak hal di dalam konteks keindahaan, pengalaman estetis, gaya-aliran seni, perkembangan seni, dan lainnya.
Keindahan adalah subjektif, adalah relatif. Nilai estetis menjadi sangat subjektif tetapi ada beberapa hal yang bisa menjadi acuan tentang sesuatu hal memiliki nilai-nilai estetis.
Immanuel Kant, membagi nilai estetis menjadi:
(1) Nilai Murni terdapat pada garis, bentuk, warna dalam seni rupa. Gerak, tempo, irama, dalam
seni tari. Suara, metrum, irama dalam seni music. Dialog, ruang, gerak dalam seni drama, dan
lainnya. Nilai murni adalah keindahan murni.
(2) Nilai Tambahan, adalah yang ditambahkan pada bentuk-bentuk manusia, alam, binatang dan lain-lain; gerak lambaian, sembahan dan lain-lain; suara tangisan dan lain-lain. Keindahan yang dapat dinikmati penggemar seni yang terdapat pada unsur-unsur tersebutlah yang disebut sebagai nilai tambahan.
Teori Intrinsik, berpendapat bahwa nilai seni terdapat pada “bentuknya”. Bentuk adalah medium inderawi sebuah karya seni. Isinya (cita dan emosi yg menyertainya) adalah tidak relevan.
Misalnya, lukisan pemandangan alam; nilai keindahan dibentuk dari hubungan garis-garis, warna-warna, dan bentuk-bentuk yang dapat disadari. Sedangkan pepohonan, gunung, awan, matahari, dan mungkin sungai tidaklah relevan dengan keindahan yang sesungguhnya sebagai objek real.
Teori Ekstrinsik, susunan dari arti-arti di dalam (makna dalam) dan susunan medium inderawi (makna kulit) yang menampung proyeksi dari makna dalam harus disatukan. Nilai-nilai keindahan mencakup semuanya, meliputi semua arti yang diserap dalam seni dari cita yang mendasarinya.
Teori Serba Intelektual, menyatakan bahwa ‘tujuan seni adalah mengungkapkan kebenaran’, sesuai
prinsip Aristoteles “keindahan adalah ‘kebenaran’, keindahan yang benar atau kejujuran!” Kebenaran
yang dimaksud adalah ‘kebenaran artistik’, yaitu manifestasi prinsip universal dalam kehidupan yang
nyata ataupun khayali. Disebut pula sebagai kebenaran baru (new reality) dan kebenaran kedua (second reality). Teori ini beranggapan bahwa tak beda antara tujuan dan nilai ilmu sains dan seni. Bedanya hanya sains menyajikan citra dalam bentuk nilai-nilai abstrak, sementara seni menyajikan bayangan yang nyata dan merupakan perumpamaan.
Teori Katarsis, dikemukakan oleh Aristoteles tentang efek dari seni terhadap pengamatnya. Pengamat
mendapatkan kepuasan dan kedamaian dari karya seni, ibarat ‘penyucian’ atau ‘penyembuhan’ ruhani.
Contoh pada seni teater, musik bahkan film. Ini dikaitkan dengan ekspresi di luar seni, yaitu nafsu kasar dan tak tekendali yang diubah menjadi ekspresi seni, yaitu bentuk-bentuk artistik dan estetis yang sangat cocok, melalui maksud mengalihkan perhatian ke tempat lain bagi pikiran kita serta kesempatan untuk merefleksikan dan mencernakan pengalaman, sehingga membawa kedamaian dan mencapai kepuasan ruhani.
Nilai Ekspresi, keindahan adalah jenis ekspresi dan ekspresi adalah “muatan” atau “isi” seni. ‘muatan’ atau ‘isi’ ini bisa disebutkan berdasarkan rasa inderawi dan emosi yang dibedakan menurut rasa yang menyenangkan, rasa lucu dan perenungan
maka, Estetika adalah teori yang mencakup:
1. Penyelidikan tentang yang indah.
2. Penyelidikan tentang prinsip-prinsip landasan seni.
3. Pengalaman yg berkaitan dengan seni, penciptaan seni, penilaian atau refleksi terhadap karya seni.
Ruang Lingkup Estetika:
1. Bidang Filosofis: Kajian mengenai karakter dasar seni, norma, serta nilai seni.
2. Bidang Psikologi: Kajian mengenai pengamatan dan tanggapan, aktivitas penciptaan, serta seni pertunjukan.
3. Bidang Sosiologis: Kajian mengenai pengamatan suatu publik, karya seni, sarana, dan lingkungan.
PEMAHAMAN & PENIKMATAN ESTETIK
PEMAHAMAN adalah apresiasi. Apresiasi adalah proses sadar dalam memahami sebuah karya.
Mengapresiasi adalah proses menafsirkan makna yang ada di dalam sebuah karya. Dalam memahami
sebuah karya, seseorang wajib mengenal struktur dari karya yang sedang dihayati.
Pemahaman estetik (seni) banyak menarik perhatian para ahli estetika. Dalam mendekati persoalan
estetik (seni), para ahli mencoba menggunakan beberapa teori, diantaranya teori Pemancaran Diri
(Einfuhlung atau Empathy), dan teori Jarak Kejiwaan (Psychical Distance).
Teori Pemancaran Diri (Empathy),
Dikembangkan oleh Theodore Lipps. Empati (einfuhlung) merupakan pengalaman dalam peleburan
perasaan (emosi) pengamat terhadap benda seni. Contoh: ketika menonton film, kita seolah turut
bermain di dalamnya dan terkadang berpihak pada salah seorang tokoh. Atau bagaimana karya
Katsushika Hokusai dapat menimbulkan perhatian tertentu secara estetis.
Perhatian kita bisa tertuju pada
orang-orang dalam perahu.
Kemudian kita merasa simpati
kepada mereka dalam menempuh
bahaya.
Tetapi jika kita menganggapnya sebagai hasil
seni, maka perasaan kita akan terpikat oleh
lenggak-lenggok gelombang yang maha
besar itu. Kita seolah-olah berada dalam
gerakannya yang menarik. Kita akan merasa
akan tegangan antara kekuatannya yang
menggulung ke atas dengan gaya berat, dan
setelah gelombang itu memukul dan
membuih maka kita sendiri akan merasakan
seperti dengan amarah menegangkan jarijari
untuk menerkam korban yang ada di
bawah kita (Read, 1972:36-38).
Katsushika Hokusai – Great Wave of Kanagawa
Proyeksi perasaan empati ini bersifat subjektif dan sekaligus objektif. Hal tersebut disebut subjektif
karena pengamat menemukan kepuasan atau kesenangan bentuk objek karya seni. Sedangkan disebut
objektif karena didasarkan pada nilai-nilai intrinsik benda seni itu sendiri (Sumardjo, 1997). Pola
hubungan antar inilah yang memberikan makna pada pengalaman tersebut.
Teori Jarak Kejiwaan (Psychical Distance)
Edward Bullough merasakan bahwa jika merasakan suatu pengalaman estetik (seni), pengamat (yang
mengalami benda estetik/seni) harus dapat meniadakan segala kepentingan yang mempengaruhi
pandangannya terhadap seni yang sedang dihadapi.
Teori ini diperkuat oleh P. A. Michelis. Dia lebih mengarahkan pada jarak estetik (Aesthetic Distance). Bahkan secara lebih rinci, bahwa membuat jarak terhadap benda seni tidak hanya jiwa saja, tetapi juga ruang dan waktu (distansi ruang dan distansi waktu). Ketika kita menikmati lukisan dari jarak dekat, maka kita akan kehilangan keutuhan dari satu unit format karya lukis. Dengan demikian lukisan itu telah sampai pada apresiasi kita dalam keadaan berubah, dari suatu image menjadi suatu benda. Sebaliknya, jika mengamati dari jarak yang terlampau jauh, lukisan tersebut hanya bisa ditangkap dengan kesan globalnya saja, mungkin hanya bayangan atau siluetnya. Yang paling baik adalah distansi tengah, yang akan membimbing kita untuk mengapresiasi relasi di bagian-bagian bentuk keseluruhan, dan keseluruhan itu sebagai unit.
PENIKMATAN merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya estetik. Hasil dari interaksi proses tersebut merupakan ultimatum senang atau tidak senang terhadap keberlangsungan terhadap karya seni. Relativitas kajian tersebut tergantung dari tingkat relativitas seseorang dalam menghadapi sebuah karya sajian. Tingkatan relativitas tersebut juga tergantung dari tingkat intelektual seseorang dan latar budayanya.
Steppen C. Pepper memberikan empat tingkatan ultimatum kesenangan berdasarkan tingkat relativitas seseorang:
1. Tingkatan Pertama: Tingkat Subyektif relativitas, dimana seseorang dalam memberikan ultimatum senang dan tidak senang karena adanya keputusan subyektivitas, misalnya: “Saya senang karena film itu dimainkan oleh ....”, ultimatum tersebut berdasarkan keputusan yang berorientasi pada selera pribadi.
2. Tingkatan Kedua: Tingkat Culture Relativity, tingkat relativitas ini atas keputusan sikap psikologis karena ikatan latar belakang budaya. Misalnya: “Saya senang karena karya seni yang disajikan merupakan kebudayaan daerah...”
3. Tingkatan Ketiga: Biologikal relativitas, keputusan yang berdasarkan atas intrinsik yang muncul
setelah menikmati karya tersebut. Ultimatum tersebut hampir mendekati proses apresiasi, namun masih banyak menggunakan aspek psikologis dibanding logika pemahaman estetik.
4. Tingkatan Keempat: Absolut, artinya didasarkan atas pengaruh dari luar. Misal; Semua seni itu indah, tanpa berusaha menikmati dengan segala kekuatan aspek psikogis yang ia punyai.
ESTETIKA BARAT I
Estetika Yunani Klasik
Dalam periode ini para filsuf yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya, yaitu :
1. Bersifat Metafisik, Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan.
Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
2. Bersifat Objektifistik, Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berada dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
3. Bersifat Fungsional, Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan
(moral), kesenangan, kebenaran dan keadilan.
Dalam dialog-dialognya Socrates (470/469 – 399 BC) membuka persoalan dengan mempertanyakan
sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu
ada di dalam jiwa (roh). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda, tetapi sesuatu yang ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.
Plato (424/423 – 348/347 SM), berpendapat bahwa realitas yang ada bukanlah yang ada namun hanya sebagai tiruan dari yang ada. Plato menyebutnya sebagai Idea. Idea sendiri bagi Plato adalah ada yang sesungguhnya yang bersifat kekal dan mutlak. Oleh karenanya Plato beranggapan bahwa seni adalah tiruan dari tiruan; mimesis-memeseos. Karena keindahan itu hanya ada di alam Idea. Plato berpendapat bahwa untuk mengetahui keindahan sesungguhnya, kita terlebih dahulu mengosongkan pikiran dan membersihkan diri dari segala kesalahan dan kekurangan.
Aristoteles (384-322 SM) Keindahan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan. Ia juga percaya
bahwa tidak ada keindahan yang mutlak. Keindahan yang ada sebenarnya didasarkan pada persepsi
masing-masing individu. Karya seni adalah sebuah tiruan (imitasi), yakni tiruan dari dunia alamiah dan dunia manusia. Bagi Aristoteles, seni tidak hanya tiruan dari benda yang ada dari alam, tetapi lebih sebagai tiruan dari sesuatu yang universal. Karya seni yang sempurna harus dapat menjadi sebuah “katarsis” yang artinya pemurnian. Menurut Aristoteles, katarsis adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Teori katarsis Aristoteles ini sangat berpengaruh dalam filsafat seni, terutama dalam teori drama. Biasanya khatarsis diharapkan terjadi pada diri penonton dan kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin sebagai pengalaman penderitaan.
Estetika Abad Pertengahan
Abad pertengahan (5-15 M) merupakan ‘abad kegelapan’ yang menghalangi kreativitas seniman dalam berkarya seni. Agama Nasrani yang mulai berkembang dan berpengaruh kuat pada masyarakat akan menjadi belenggu seniman. Gereja Kristen lama bersifat ‘memusuhi’ seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja dan kehidupan sorgawi. Karena memang kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah/dan selalu memperjuangkan bentuk visual yang sempurna (idealisasi).
Pada abad Pertengahan estetika secara filosofis bersifat teosentrisme. Hal tersebut dikarenakan oleh
perkembangan Kekristenan yang menakjubkan. Pandangan Klasik yang kosmosentris digantikan oleh
pandangan estetika Kristen yang memusatkan refleksi estetis kepada Tuhan/Allah sendiri.
St. Thomas Aquinas (1225 - 1274) seorang pendeta Ordo Dominikan yang mengintrodusir karya-karya Aristoteles berupaya keras untuk menciptakan perdamian antara filsafat Yunani dan teologi Kristen yang pada akhirnya berhasil disinergikan dan perspektif Aquinas inilah yang kemudian menjadi corak dari konsep seni pada Abad Pertengahan.
Bagi Thomas Aquinas seni sebagai sebuah estetika atau keindahan adalah bagian teologi. Karena bagi sang Pendeta, dunia nyata atau realitas itu sendiri adalah sebuah manifestasi dari yang Ilahi.
(1) Integritas atau kelengkapan, artinya sempurna, tak terpecah, dan tak tersamai.
(2) Harmoni, selaras, dan proposional, keselarasan yang benar.
(3) Kecemerlangan yang jelas, terang, dan jernih.
Jadi corak estetika Abad Pertengahan :
Terikat oleh kekuatan agama (kristen), dikuasai oleh pemimpin agama dan sepenuhnya harus percaya
pada ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pendeta (dogmatisasi), dan bersifat simbolik dengan arti religius spiritual. Menjadikan segala bentuk nilai yang estetis terpenjara oleh seperangkat aturan formal.
RENAISSANCE
Secara etimologis kata renaissance berasal dari kata re: kembali dan naissance: kelahiran. Artinya masa kebangkitan kembali minat budaya Klasik = Yunani-Romawi Kuno (neoplatonisme). Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang sejarawan terkenal, Michelet, dan dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan (Runes:270).
Pada masa Renaissance, seni secara filosofis bersinggungan dengan yang ilmiah yang rasional. Renaisans disebut pula sebagai kebangkitan intelektual yang berdasarkan sumber-sumber klasik. Sebuah revitalisasi dan pengitrodusiran ide-ide klasik kedalam wacana yang baru, yang sesuai dengan
perkembangan intelektual manusia pada masa tersebut. Pada masa ini pula usaha-usaha intelektual
digali secara besar-besaran. Sehingga membuahkan sebuah pengertian awal perihal konsep-konsep
humanisme. Juga memberikan ruang yang terbuka bagi seni atau keindahan estetik lainnya.
Kaum Renaissance banyak mempelajari kembali pandangan estetika Yunani dan Romawi Kuno. Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi kajian pokok, sehingga melahirkan berbagai tafsir dan
pandangan baru. Sejak zaman Renaisans mulai muncul pandangan estetika dari para senimannya sendiri, disamping para filsuf seni.
1. Seni lukis dan seni pahat-patung merupakan hal yang bersifat mental dan intelejensi (cosa mentale),
sebuah cabang ilmu, bukan hanya masalah pertukangan (craft). Ini terkait dengan status sosial baru
bagi seniman sebagai ilmuwan dan orang yang santun (gentleman).
2. Seni dan puisi meniru alam untuk tujuan ini, ilmu-ilmu empiris memberikan petunjuk-petunjuk yang berguna.
3. Seni plastis, seperti sastra, juga mengejar tujuan moral, yakni perbaikan status sosial, namun tetap
bercita-cita menuju yang ideal.
4. Tujuan segala seni keindahan adalah properti objektif dari benda-benda terdiri atas tatanan (order),
harmoni, proporsi, dan kebenaran. Dan kebenaran ini sebagian dapat diungkapkan secara matematis.
5. Puisi dan seni-seni visual yang telah mencapai kesempurnaan serta bentuk yang definitif di masa
klasik (yunani-Romawi) rahasianya telah hilang dan kesenian semakin merosot.
6. Seni harus tunduk dan mengikuti aturan-aturan kesempurnaan yang secara rasional dapat
dimengerti dan secara tepat dapat diformulasikan dan diajarkan. Aturan-aturan ini inheren didalam
karya-karya klasik dan dapat dipelajari lewat studi karya-karya tersebut serta studi terhadap alam.
7. Unsur Perspektif menjadi penting dlm proses menciptakan sebuah ilusi kedalaman suatu karya seni.
8. Banyak berhutang pada mitologi-mitologi klasik dan filsafat mistis.
Setelah berkembangnya zaman Renaisance, masyarakat Eropa mengalami perubahan pada SDM yang
terdiri dari:
1. Perubahan pola pikir emosional menjadi rasional. Pemikiran yang rasional menjadi dasar utama
/ satu-satunya jalan untuk mengungkap rahasia alam, bukan melalui agama. Agama gereja mulai ditinggalkan.
2. Pada Abad Pertengahan, kehidupan di Eropa diatur oleh ”teosentris’’ yaitu segala sesuatu berpusat pada kepercayaan. Namun setelah Renaissance, kehidupan mereka diatur oleh ’’antroposentris’’ yaitu segala sesuatu yang dilakukan berpusat pada manusia. Pada abad tengah mereka percaya pada takdir, tapi pada renaissance mereka percaya pada nasib.
3. Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan secara kolektif. Sebaliknya pada jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan secara individual
4. Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan berdasarkan spiritual. Dan di jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan berdasarkan materi.
Pada perubahan kebudayaan ini yang ditekankan adalah membentuk manusia yang humanis.
Humanisme adalah proses pembentukan manusia yang otonom, rasional, bebas, bertanggungjawab,
sehat fisik dan spiritual. Perubahan kebudayaan ini adalah pada bidang seni. Yaitu seni bangunan /arsitektur dan seni lukis. Seniman lukis yang sangat terkenal pada saat itu adalah Leonardo da Vinci
lewat karya "Monalisa". Dan seniman patung Michelangelo, yang terkenal dengan patung “Pieta”, yaitu patung Yesus dipangkuan Bunda Maria.
Michaelangelo Buonarroti' atau lengkapnya (Italia) Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni
(Spanyol: Miguel Ángel; Perancis: Michel-Ange, yang berarti Malaikat Mikail) (lahir 6 Maret 1475 –
meninggal 18 Februari 1564 pada 88 tahun) adalah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek
zaman Renaissance. Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang
dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Kapel Sistina.
Leonardo da Vinci lahir di Vinci, propinsi Firenze, Italia, 15 April 1452 dan meninggal di Clos Lucé, Perancis, 2 Mei 1519 pada umur 67 tahun. Dia adalah arsitek, musisi, penulis, pematung, dan pelukis Renaisans Italia. Ia digambarkan sebagai arketipe "manusia renaisans" dan sebagai genius universal.
Donato di Niccolò di Betto Bardi (sekitar 1386 - 13 Desember 1466), juga dikenal sebagai Donatello, adalah seorang seniman dan pematung Italia dari Firenze pada awal abad Renaisans.
Ia dikenal sebagai salah satu pematung terbaik pada zamannya. Ia menggunakan tipe khusus dalam teknik mematung yang membuat karyanya terlihat sangat nyata.
Raphael Sanzio atau Rafaello Sanzio (lahir di Urbino, Italia, 6 April 1483 – wafat di Roma, Italia, 6 April 1520 pada 37 tahun) adalah ahli lukis dan arsitektur terpelajar Italia dari kota Firenze pada masa Renaissance. Ia juga dikenal dengan panggilan Raffaello Santi, Raffaello da Urbino, atau Rafael Sanzio da Urbino.
Ciri utama Renaissance:
1. Humanisme, individualisme, sekularisme = lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme, dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman ini, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (Zaman Modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) makin ditinggalkan karena semangat humanism. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada Zaman Modern. Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan menghasilkan yang positif, etapi sekaligus yang negatif.
2. Melepaskan norma-norma perwujudan yang ditentukan oleh raja dan bangsawan yang berkuasa dan oleh para pendeta (Gereja).
3. Kesenian masih tetap menggunakan tema-tema yang sifatnya religius (sakral)
4. Pada akhir-akhir masa renaissance timbul kesenian profan dan sekuler.
5. Perfeksi dan keutuhan tetap merupakan syarat keindahan.
ESTETIKA BARAT II
• Pengaruh Renaissance berikutnya telah menciptakan atmosfir seni akademis, yang membentuk konsep2 teori2 akademis (pengklasikan/pembakuan):
– Nature, kekuatan penciptaan
– Imitation, harus meniru, tapi tak sekedar mengkopi, tapi menangkap, memahami dan membawakan prinsip2 tertentu
– Invention, memilih dan menyajikan tema penggambaran hidup manusia yang signifikan, mendidik moral juga menyenangkan, dengan ilham Alkitab, mitologi klasik dan sejarah
• dan menyebabkan pembagian genre/tema seni secara hierarkis:
– Still life (alam benda)
– Landscape (pemandangan alam)
– Potret
– Tema naratif yang dapat memajukan moral (sejarah, mitologi, Alkitab)
ESTETIKA ABAD PENCERAHAN (ENLIGHTMENT)
• Masa ini rasionalisme menjadi ideologi, bahkan seperangkat aturan seni akademis menjadi rasional, tertata, tertib dan formal, memunculkan aliran seni Neoklasik
• Neoklasik mengacu pada kejayaan dan keagungan Imperium Romawi. Memunculkan karyakarya yang sangat heroik, agung dan megah. Menjadi alat propaganda para diktator
• Mulai munculnya gagasan akan ‘kebenaran estetik’, bentuk ‘kebenaran’ tersendiri yang tidak bisa dinilai dari kebenaran logika dan etika, gagasan otonomi seni
Art for the sake of Art
ESTETIKA ROMANTIK
• Gerakan sastra dan seni yang berupaya mengangkat aspek emosi dan ekspresi pada kemanusiaan yang sebelumnya dikesampingkan karena dominasi logika dan rasio
• Memunculkan karya seni yang penuh gejolak emosi, kegetiran, dramatis, puitis, teatrikal, sering disebut aliran Romantisisme
• Bidang seni memiliki dua sisi yang opositif: Apollonian VS Dionysian
• Romantisisme mengekspos sisi Dionysian dari seni. Hal ini menghadirkan perilaku dan pemikiran kaum ‘seniman’ yang ‘romantik’
Romantisisme vs Realisme
• Seni Romantik yang dianggap terlalu dramatis, teatrikal dan berlebihan mendapat tentangan dari aliran seni Realisme
• Realisme berusaha mengalihkan tema sebelumnya yang terlalu fokus pada iklim kebangsawanan dan kekayaan demi menyuguhkan kenyataan yang ada dalam keseharian sealamiah mungkin tanpa dibuat-buat
ESTETIKA MODERN
Estetika Modern berlangsung dari tahun 1860 -1970an. Estetika modern “membuang” tradisi estetika yang dianggap kuno kemudian berexperimen dengan kebaruan yang ada—seperti ide baru tentang kesemestaan sebagai sesuatu yang materialistis. Estetika mengalami (re)orientasi subtansial yaitu, memandang karya seni bukan pada kecantikan dan keindahannya, melainkan telah bergeser ke arah aksi, makna, dan tanda.
Estetika modern dimulai dari karya-karya para seniman ternama seperti Vincent van Gogh, Paul Cézanne, Paul Gauguin, Georges Seurat dan Henri de Toulouse-Lautrec. Pada awal abad ke-20, Henri
Matisse dan beberapa seniman muda seperti, seniman pre-cubists Georges Braque, André Derain, Raoul Dufy, Jean Metzinger dan Maurice de Vlaminck melakukan semacam revolusi di Paris yang membiarkan ide liar kesenimanan mereka keluar sehingga menghasilkan karya-karya yang multi colored, expressive landscapes dan figure paintings yang pada masa tersebut dikenal dengan sebutan Fauvism.
Estetika Modern Awal Abad ke-20
Menuju Otonomi Visual
Beralihnya proses seni dari imitasi ke kreasi itulah yang menyebabkan lahirnya persoalan ekspresi dalam lukisan, serta pentingnya kehadiran otonomi visual sekaligus kehadiran material dalam lukisan
Pembela dalam pendangan ini kritikus Denis Maurice yakin soal ditemukannya ‘ada realitas yang khas di dalam suatu gambar atau lukisan’
ESTETIKA POST-MODERN
Posmodernisme adalah gerakan kebudayaan yang dicirikan oleh penentangan terhadap rasionalisme,
totalitarianisme, dan universalisme. Serta kecenderungan ke arah penghargaan akan keanekaragaman,
pluralitas, kelimpah-ruahan, dan fragmentasi dengan menerima pelbagai kontradiksi dan ironi di
dalamnya. (Piliang, 2004).
Estetika post-modern adalah anti-tesis dari estetika modern. Bentuknya estetiknya secara umum adalah:
Intermedia, Installation art, Conceptual Art dan Multimedia.
Karakteristik estetika post-modern antara lain:
bricolage, the use of words prominently as the central artistic element, collage, simplification,
appropriation, performance art, the recycling of past styles and themes modern-day context, dan
perkelidanan antara fine dan high arts dan low art dan popular culture.
Estetika Posmodern lebih menekankan dampak dari suatu karya seni dibandingkan pengertian dari
suatu karya seni—lebih menekankan pada sensasi yang terjadi dari suatu karya seni ketimbang
interpretasinya.
Seniman/desainer, merupakan manifestasi perluasan otoritas estetika yang tak terbatas dan absolut.
Seniman/desainer menjadi seperti “produsen” artefak budaya (bangunan dan lingkungan binaan) yang
bebas lepas menentukan bentuk desain yang diinginkannya. Namun dalam realitasnya tak lebih dari
pengulangan-pengulangan bentuk, gaya, dan simbol-simbol dari apa yang sudah ada sebelumnya.
• Konsep estetika Barat mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Dari imitasi, idealisasi, ekspresi
simplifikasi, hingga ke abstraksi, akhirnya ‘anarki’, dan masih terus bereksplorasi
• Perubahan konsep estetik dalam seni murni, pastinya mempengaruhi bidang desain dan arsitektur
• Perubahan konsep estetik dipengaruhi pula oleh dinamika wacana pemikiran filsafat dan kebudayaan
• Namun bagaimanapun, desain dan arsitektur masih memfokuskan pada fungsi dan komunikasi
Tambahan
Menuju Seni Modern
Perkembangan seni rupa yang terbagi antara sakral dan sekuler, juga menimbulkan ketidak puasan
karena seni masih terpaku pada pakem, sehingga timbullah aliran/gaya dalam seni (lukis):
1. Klasisisme (Klasik), yang mengacu pada ideal klasik Yunani, mengarah ke bentuk dekoratif,
mengesankan bentuk yang indah dan elok
2. Naturalisme, sesuai dengan bentuk alamiah sehari-hari, seperti potret
Abad ke-18
3. Neo-Clasicisme (Neoklasik), lebih terikat pada patokan akademis, mengutamakan harmoni dan
idealis, pewarnaan yang lembut, kesan agung, obyek berupa bangsawan atau pendeta.
Berkembang pula dalam seni arsitektur dan patung.
Abad ke-19
4. Romantisisme, menyajikan peristiwa dan tragedi yang terkadang menyimpang dari kenyataannya, penuh gerak, gejolak, emosionil, meriah dan penuh kegetiran. Tokoh-tokohnya antara lain Eugene Delacroix, Theodore Gericault, Francois Millet, Gustave Courbet
5. Realisme, melukiskan sesuatu yang ada dan nyata, tanpa dramatisir
6. Naturalisme, sesuai dengan bentuk alamiah sehari-hari, seperti potret
7. Impressionisme, mencoba mengesankan pandangan biasa yaitu merekam keindahan alam dengan warna-warna selain hitam. Tokoh-tokohnya ialah Eduard Manet, Claude Monet, Edgar Degas, James MacNeill Whistler
8. Post-Impressionisme, membuat keindahan dengan mengubah keindahan alami menjadi
keindahan artistic dengan tokohnya George Seurat, Paul Cezanne, Vincent vanGogh, Paul Gauguin
Abad ke-20
9. Fauvisme, yang berusaha membebaskan diri dari semua pengaruh keindahan alam, cerah dengan warna-warna berani walau sering bertabrakan, disebut juga “binatang jalang”, dengan tokohnya Matisse
10. Expressionisme, mengutamakan kebebasan distorsi bentuk dan kebebasan warna sebagai ungkapan emosi dan sensasi jiwa, berawal dari Jerman dengan tokohnya Kollwitz, Wassily Kandinsky, Marc
11. Kubisme, didasari pandangan tentang komposisi bentuk dan ruang, diantaranya :
- Analitis
- Sintetis
- Futurisme
Tokohnya yang terkenal adalah Pablo Picasso dan Georges Braque
12. Abstraktivisme, memberikan susunan warna, garis dan bidang untuk ditafsirkan sebagai bentuk
non figuratif, murni, utuh dan bebas dari bentuk yang ada di alam, diantaranya :
- Suprematisme, dengan bentuk-bentuk geometris murni (lingkaran, kubus dsb)
- Konstruktivisme, menyajikan bentuk 3 dimensi dengan bahan bangunan (kayu, kawat,
besim plastik)
- Neoplastisisme, meninggalkan bentuk alamiah, menuju bentuk tersederhana
- Purisme, menginginkan bentukan murni yang hanya bisa direalisasikan dalam bentuk 3 dimensi deperti pada seni patung dan arsitektur
13. Dadaisme, menentang semua kaidah seni dan estetika sebelumnya (Borjuis), sinis, nihil dan
meniadakan ilusi, tokohnya Marcel Duchamp
14. Pittura Metafisica, menghadirkan sesuatu bersifat metafisik yang hanya bisa ditangkap orangorang tertentu
15. Surrealisme, perwujudan hal-hal aneh yang tak terjangkau pemikiran biasa, berkembang
menjadi dua tendensi :
- Surrealisme Ekspresif, menyajikan bentuk simbolik
- Surrealisme Murni, menggunakan teknik akademis yang akurat, namun ditambah dan
dirubah menjadi sesuatu yang absurd
Aliran lukis yang mengacu atau terpengaruh seni timur :
- Rococo Chinoiserie (abad 18)
- Japonisme (abad 19)
Gaya dalam seni lainnya :
- Realis-Impresionisme, terdapat dalam seni patung yang dikembangkan Auguste Rodin
- Fungsionalisme yang terdapat pada arsitektur dengan tokohnya Sullivan dengan esensi
bentuk mengikuti fungsi
- Symbolisme / Synthetism, seni lukis pelarian dari obyektif naturalistis menuju imajinasi dan
fantasi, dunia tersendiri
- Abstrak-Ekspresionisme, lahir di New York setelah Perang Dunia II, meliputi lukis, seni tiga
dimensi
Perkembangan Gaya dalam Desain
- The Arts and Crafts Movement (1850-1900)
- Art Nouveau (1890-1905)
- The Machine Aesthetic (1900-1930)
- Bauhaus (1919-1933)
- Art Deco (1925-1939)
- Streamlining (1935-1955)
- Modernism – Pop Art (1955-1975)
- Post-Modernism (1975-…)
Art Nouveau
Merupakan paduan seni dengan industri (art industry), terinspirasi rococo dan japonisme, yaitu dengan memassalisasi pruduk berornamen mewah dengan harga yang tetap terjangkau. Bisa dikatakan sebagai bentuk kompromi antara seni dan industri. Cirinya dinamis penuh gerakan dengan menampilkan banyak pola-pola kurvalinear mirip tumbuhan, ada hubungan dengan aliran symbolisme. Akibatnya terjadi kejenuhan, bahkan timbul komentar Adolf Loos, “Ornament is a crime”.
The Machine Aesthetics
Alias “Estetika Mesin”, dilatar belakangi perkembangan teknologi produksi dan organisasi industri,
perluasan pasar, tuntutan selera yang kompleks, rasionalisme yang menuntut pelipat gandaan, relevansi dengan kemampuan mesin dan kompleksitas sistem produksi.
Ditunjang slogan dari Louis Sullivan “Form ever follows function”, lahir suatu purisme bahwa dalam
bidang arsitektur haruslah murni sesuai fungsi, tanpa ekspresi. Fungsionalisme-rasionalisme dan presisi,
sederhana dan terstandarisasi. Adanya konsep kenyamanan secara terukur agar bias seekonomis dan
seefisien mungkin seperti ergonomi.
Brutalisme, konsep desain yang terlalu seadanya, sekedar struktur yang memenuhi fungsi, tanpa
keindahan, merupakan ekses dari Perang Dunia I dan bernafaskan sosialisme (hemat biaya).
Universalisme atau International Style, kelanjutan purisme Estetika Mesin yang konsepnya menyeragamkan gaya bangunan dan mode di seluruh dunia, sesuai dengan Barat.
Art Deco
Suatu langgam yang menyatukan seni, teknologi dan desain, bersamaan dengan International Syle.
Berawal dari Bauhaus (House of Building), akademi desain di mana arahnya adalah desain yang ekspresi, rasio, fungsi, puris dan pengajaran yang termetodis. memiliki visi berupa karya seni kolektif di mana tiada batasan antara struktur dan hiasan. Ini melanjutkan pemikiran Purisme mengenai fungsi, namun tetap berusaha menyintesakan teknologi dan estetika.
Menurut Mies Van Der Rome desain yang baik adalah adanya kejujuran material, konsistensi logika,
keterus terangan dan kesederhanaan, sehingga melahirkan slogan “less is more”. Contoh karya arsitektur yang terkenal adalah Chrysler Building di New York, juga beberapa bangunan di Braga
Bandung.
Pop Art
Diartikan “membuat suatu gaya menjadi tidak berkepribadian”, karena menggunakan kolase gambargambar dari iklan dan media cetak lainnya sebagai bahan berkarya. Saat pertama muncul di Inggris dianggap sebagai hujatan kepada seni atau masyarakat konsumen. Namun muncul juga komentar bahwa bentuk seni ini popular, murah, muda, jahil, bisa diperbanyak dan keseharian. Salah satu yang terkenal adalah karya Andy Warhol.
Referensi:
Buku Utama
Ali, Matius. 2011. Estetika: Pengantar Filsafat Seni.Sanggar Luxor.
Arifin, Djauhar. 1986. Sejarah Seni Rupa. Penerbit CV Rosda Bandung.
Chernyshevsky, N. G. 2005. Hubungan Estetik Seni dengan Realitas. Bandung: CV Ultimus.
Dharsono. (Sony Kartika). 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Honour, Hugh & JohnFleming. 2002. A World History of Art. London: Laurence King Publishing.
Getlein, Mark. 2002. Living with Art. New York: McGraw Hill.
Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.
Buku Pendukung
Sugiharto, Bambang. 2014. Untuk Apa Seni? Bandung: MATAHARI.
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia, Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.